Saya suka hujan. Aroma hujan yang segar terasa merasuk ke dalam jiwa.
Dan di antara rehat saya di awal tahun ini, di dalam kamar yang temaram dan di dalam kesendirian, dapat saya hirup aroma hujan dari jendela yang terbuka. Ah. Penghawaan alami masih menang, apalagi di awal tahun di bagian selatan Jakarta Selatan ini.
Setahun yang lalu, awal tahun di kota yang berbeda, dengan suasana yang berbeda. Tapi saya tetap suka mematikan lampu dan membuka jendela, membiarkan suasana hujan masuk ke dalam ruangan jiwa. Teringat kota itu meski penuh jiwa-jiwa dan impian, namun tetap bukanlah 'rumah' yang saya cari. Selamanya kota ini serta hujannya akan jadi persinggahan sementara yang nyaman dan berkesan mendalam.
Dua tahun yang lalu, awal tahun di kota yang berbeda, dengan orang-orang yang berbeda, di negara yang berbeda. Merasakan hujan yang berbeda: salju. Tetap saja, apapun itu saya suka hujan. Meski menyakitkan, namun saya suka hujan. Dan hujan adalah negri itu, negri itu adalah hujan. Bahagia.
Bertahun-tahun yang lalu, di kota lainnya saat saya masih ingusan dan naif, sering kali saya berjalan sendirian dalam hujan. Melewati tepian selokan, menikmati kesendirian. Menikmati turunnya hujan dan airmata. Irama kota itu begitu berbeda, begitu banyak ambisi yang tercium ke udara. Namun saya saat itu tetap berjalan lambat, dan mungkin hanya berteman hujan.
------
'Rumah' ini bukan kota ini. Kota yang ganas, tapi rumah tetaplah rumah dan hujan tetaplah hujan. Masa kecil di rumah ini dan hujan tak akan tergantikan. Hujan-hujanan, bermain perahu kertas di halaman rumah...
-----
Teman datang dan pergi.
Semua ini fana, apa yang sebenarnya kau cari?
Semoga hujan akan terus menemani, kemanapun saya pergi.
Sore hari di Lenteng Agung,
10 Januari 2014
Comments
Post a Comment