![]() |
http://birokrasi.kompasiana.com/2011/12/01/kampanye-adu-domba-subsidi-bbm/ |
Harga minyak dunia yang terus melambung dan pemerintah tetap "dipaksa" untuk mempertahankan subsidi? Sama aja bunuh diri! Sejarah membuktikan bahwa sesungguhnya subsidi BBM tidak memiliki andil langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dikatakan bahwa Turki, negara dengan harga BBM termahal di dunia, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, meskipun tanpa subsidi BBM.
Perhatikan tabel di bawah ini:
![]() |
(Koplow, Kretzman 2010) |
Selain Arab Saudi, Indonesia adalah satu-satunya negara G20 dengan tingkat perbandingan harga terhadap Amerika Serikat di bawah 100% untuk kedua jenis bahan bakar. Angka 54% untuk subsidi solar dan 89% untuk premium artinya kita memaksakan untuk tetap menekan harga menjadi hampir setengah dari harga pasar untuk solar dan hingga kurang dari sembilan puluh persen untuk premium! Gila. Kenapa gila? karena saat ini kita harus mau mengakui bahwa kita mengimpor minyak! Arab Saudi mampu menekan harga karena mereka jelas-jelas mengekspor minyak. Jangan menyalahkan pemerintah (lagi) kenapa kita bisa jadi pengimpor minyak. Memang sih pemerintah melakukan kesalahan dengan menyubsidi minyak pada awalnya, tapi sekarang masih belum terlambat untuk membenahi, sebelum bangsa ini benar-benar bangkrut karena harus menyubsidi kendaraan-kendaraan pribadi.
Grafik di bawah ini menunjukkan perbandingan dari harga-harga BBM dari beberapa negara di dunia:
![]() |
Harga minyak dunia per-gallon tahun 2009 (http://www1.eere.energy.gov/vehiclesandfuels/facts/2009_fotw569.html) |
Dapat dilihat bahwa harga BBM di Indonesia sangat murah, tidak sampai $2.00 per-gallon! Kita tidak bisa terus menerus melakukan subsidi untuk menekan harga pasar, karena itu hanya akan menyeret kas negara kita ke neraca negatif alias defisit. Nigeria, yang harga minyaknya sedikit di atas kita pada grafik, bahkan sudah mencabut subsidi pada tahun 2010; meskipun diwarnai kontroversi.
Kenapa kita bisa sampai pada subsidi minyak (tolong jangan melulu dilihat dari sudut pandang yang menyudutkan pemerintah sekarang, karena ini adalah masalah "warisan" yang mungkin sudah ditanam sejak lama, namun baru muncul dengan jelasnya sekarang) mungkin karena: (1) cadangan minyak bumi kita memang terbatas, dan konsumsi dalam negeri terus menerus meningkat. Konsumsi meningkat jangan selalu dikatakan sebagai kesalahan pemerintah karena bisa jadi masyarakat yang makin makmur tingkat konsumsinya meningkat sehingga bisa membeli kendaraan; (2) pengelolaan SDA yang tidak optimal, kita semua tahu jawabannya: korupsi di segala lini; (3) cadangan minyak kita (dan juga hasil tambang lainnya) di-"colong" bangsa asing. Perusahaan-perusahaan seperti BP, caltex, freeport, schlumberger dan lain-lain bebas merdeka merajai pertambangan-pertambangan di Indonesia, mengeruk seenaknya dan menyisakan sangat minim (bahkan mungkin hingga 1% dari keuntungannya) untuk negara kita. Ini masalah klasik negara dunia ketiga, dan seperti saya sebutkan sebelumnya ini masalah warisan dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Bahkan putra-putri terbaik bangsa ini ikut andil dan bangga apabila bisa bekerja di perusahaan-perusahaan tersebut. Sungguh sakit!
Argumen bahwa rakyat tidak akan bisa bertahan bila subsidi dicabut malah terkesan meremehkan bangsa sendiri. Kita harus mau membuka mata dan menyadari bahwa subsidi BBM seharusnya bisa dialihkan untuk membenahi transportasi publik. Contoh yang baik dari sesama negara berkembang dapat dilihat dari Brazil dan Kolombia, yang masing-masing bisa menerapkan sistem transportasi publik yang baik; Brazil bahkan digadang-gadang sedang drastis menanjak tingkat pertumbuhan ekonominya. Semua itu karena mereka mau berubah, dan mereka bangga dengan negaranya. Brazil bahkan bisa memprivatisasi penyelenggaraan BRT (Bus Rapid Transit, semacam busway) hingga sukses.
![]() |
Curitiba's Public Transport System di Brazil (http://www.flickr.com/photos/whltravel/4370520506/) |
![]() |
BRT di Bogota, Kolombia (http://www.streetsblog.org/2006/10/24/dot-announces-five-bus-rapid-transit-corridors/) |
Jakarta punya Transjakarta-busway, tapi mungkin penerapannya belum nampak sukses karena masih banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Keretaapi di Jakarta sudah membaik sejak adanya commuter line; saya sendiri merasakan manfaatnya untuk menglaju pergi-pulang ke dan dari kantor yang lokasinya jauh dari tempat tinggal saya. Apabila pemerintah bisa menambah infrastruktur transport publik di Jakarta (seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah kota London pada tahun 1970-an dan 2003 dengan menambah infrastruktur dan mengkombinasikannya dengan regulasi road pricing pada tahun 2003) saya optimis Jakarta bisa menjadi megapolitan yang tertata sistem transportnya, terlebih untuk kaum penglaju (commuter).
Jadi, subsidi dicabut janganlah takut. Seharusnya kita bisa berpikir positif dan mendukung pemerintah, semoga pencabutan subsidi BBM akan berimbas positif ke pembangunan di sektor lain. Jangan hanya mencela, dukunglah dengan mulai meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi, kecuali jika benar-benar terpaksa. Memang, saat ini kendaraan umum yang ada di Indonesia masih sangat minim fasilitasnya, tapi pernahkah terpikir bahwa mungkin budaya kita yang terlalu sering menggunakan kendaraan pribadi justru malah "mematikan" fungsi kendaraan umum? Think again.
Comments
Post a Comment