(image source: wiki)
Penuh sampai ke atap-atap...
Mungkin ini potret keseharian saya saat pulang sekolah, kira-kira 10-12 tahun yang lalu saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah saya terletak kira-kira beberapa puluh kilometer dari rumah saya, dan harus melewati kemacetan ibukota yang luar biasa. Pagi hari, saya masih beruntung bisa diantar oleh orangtua, meski harus mengalokasikan waktu yang lumayan banyak hanya untuk berangkat sekolah dan untuk mereka berangkat ke kantor. Sekolah mulai jam 8 pagi, dan saya harus mulai siap-siap di rumah jam 5 pagi. Kami biasa berangkat jam 6 pagi, dan akan menghabiskan waktu kira-kira hampir dua jam menuju sekolah. Sangat kontras dengan di negara yang saya tinggali sekarang ini, Inggris. Menurut standar waktu perjalananan lokal, maksimal waktu untuk
commute tiap hari adalah kira-kira dua puluh menit! Bandingkan dengan waktu berjam-jam yang terbuang sia-sia oleh penduduk Jakarta untuk bolak-balik tiap harinya! Saat pulang sekolah, tak ada yang menjemput. Oleh karena itu, saya naik keretaapi rel listrik (krl) yang saat itu luar biasa penuhnya. Saat ini, jumlah KRL ekonomi sudah banyak dikurangi dan diganti dengan hadirnya komuter
line Jabodetabek.
Selepas SMA, saya diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Bandung adalah kota yang luar biasa, kota pegunungan yang sejuk (saat itu) dan penuh dengan wanita cantik,
mojang-mojang Priangan. Saat saya masih di sana, jalan tol Cipularang belum dibangun sehingga satu-satunya alternatif
nyaman untuk ke Jakarta adalah dengan keretaapi. Masih teringat jelas hari-hari saat saya bolak-balik Jakarta-Bandung untuk pulang ke rumah dan entah kenapa perjalanan dengan keretaapi sangat romantis. Sawah-sawah yang berjejer di tanah Pasundan seakan mengiringi perjalanan dari dan ke Bandung, meski pemandangan yang sama kualitasnya tidak terlihat saat semakin mendekati daerah perkotaan. Masih ingat betul nama kereta yang sering saya tumpangi: Parahyangan. Kalau berhasil merayu orangtua untuk bisa dapat tiket kereta Argo Gede (sejenis keretaapi eksekutif yang luks sekali saat itu) senangnya bukan kepalang! Namun romantisme naik keretaapi ke bandung sirna saat jalan tol Cipularang dibuka. Dan Bandung dengan cepat makin men-Jakarta, terlebih setiap akhir pekan. Angkot-angkot tentu saja tetap banyak di Bandung, namun seperti halnya semua daerah di Indonesia, sepeda motor mulai menjadi raja jalanan, bahkan di Bandung.
Lulus kuliah, saya sempat bekerja beberapa lama di daerah Tanjung Priok, di sebuah subkontraktor lokal. Keretaapi Rel Listrik (KRL) otomatis menjadi andalan saya setiap hari, karena saya tetap tinggal di rumah orangtua di selatan, sedangkan kantor saya jauh di utara. Orangtua tidak berkenan melepas saya untuk tinggal sendiri, karena saya masih
single. Tak lama, saya ikut tes penerimaan pegawai negri dan diterima! Kantor saya letaknya tak jauh dari Monas (Monumen Nasional, Jakarta), sehingga otomatis KRL tetap jadi pujaan hati untuk berangkat dan pulang kantor. Untungnya saat itu, KRL sudah mengakomodasi armada yang kualitasnya lebih baik (meski berupa gerbong-gerbong "lungsuran" Jepang) sehingga kenyamanan meningkat. Ada kereta ekspress yang harga tiketnya hampir 10x lipat harga tiket KRL ekonomi. Tapi itulah kereta yang saya naiki. Tiap bulannya, hampir sepertiga gaji pegawai negri saya habiskan untuk biaya transportasi. Tak lama, pihak Keretaapi Komuter (anak perusahaan PT.KAI) menghapuskan kereta-kereta ekspres dan menambah frekuensi komuter
line, menjadi tiap setengah jam sekali. Tiket komuter
line sekitar 4x dari tiket KRL ekonomi yang frekuensinya diturunkan. Sempat melamun, andaikata komuter line sudah ada dari jaman saya SMA, mungkin saat ini situasi bisa jadi lebih baik.
Setelah setahun, saya melanjutkan studi di Jogja (yang selanjutnya diteruskan ke Inggris). Saya pernah mendengar bahwa dulunya Jogja adalah kota sepeda, namun saat saya di sana Jogja adalah kota sepeda motor. Dengan hadirnya ribuan pelajar di kota itu, Jogja seakan penuh sesak dengan para pendatang dan kendaraan bermotornya, yang mayoritas berupa sepeda motor. Saya sendiri saat itu mengendarai sepeda motor dari kos ke kampus, dan untuk berkeliling kota. Awalnya saya bersikeras untuk membawa sepeda dari rumah, namun niat itu luntur karena semua orang di kota itu mengendarai motor.
Motor adalah jogja, dan jogja adalah motor--paling tidak itu menurut saya dan mungkin beberapa orang bisa jadi sependapat dengan saya. Trans Jogja, sebuah armada BRT (Bus Rapid Transit) belum mampu menjangkau semua wilayah kota Jogja, dan kendaraan-kendaraan umum berhenti beroperasi saat senja tiba. Mau tak mau, masyarakat mengadakan sendiri transportasi mereka. Karena mobil biayanya terlalu mahal, jadilah motor sebagai andalan. Oleh karena itu,
Jogja adalah motor, dan motor adalah jogja. Semoga suatu saat Jogja kembali menjadi kota sepeda.
Setelah beberapa bulan ini bercokol di negri orang untuk menimba ilmu (
dan luar biasanya ilmu transportasi) saya baru sadar kalau sesungguhnya masalah transportasi di Indonesia memang luar biasa kompleks, namun bukan sesuatu yang mustahil untuk dibenahi. Kemarin saya bercakap-cakap dengan kawan yang orang Inggris tulen, dan dia bercerita bahwa kemajuan itu bukan serta merta sesuatu yang langsung terjadi. Pada akhir abad ke-19, saat industri baru mulai merambah Inggris, negeri ini (Inggris) juga luar biasa kumuhnya, dan luar biasa miskinnya. Tapi semua akan terbayar pada akhirnya, asalkan kita mau bekerja keras bersama, dan mungkin mencoba menerapkan industri yang ramah lingkungan (semacam penunjang
sustainable development) dengan bantuan teknologi, sehingga tidak perlu terjadi kerusakan yang sama atau lebih besar dari yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa saat revolusi industri dan harus dibayar saat ini. Teman saya itu bahkan sangat optimis menatap masa depan Indonesia, mungkin bahkan lebih optimis daripada saya sendiri.
Kita tidak bisa selalu menyalahkan pemerintah yang selalu kita anggap tidak becus mengurusi negeri kita. Lihat sendiri ke diri kita, benarkah kita selalu membeli tiket saat naik kereta? Sudahkah kita tertib saat berkendara? Relakah kita untuk memulai merubah pola hidup dengan tidak terlalu sering memakai kendaraan pribadi? Kalau semua jawabannya tidak, mungkin saatnya kita berkaca dan mulai merubah diri, dan berhenti menyalahkan orang selain diri sendiri atas semua kekacauan yang terjadi.
Comments
Post a Comment