Skip to main content

Lottery of Birth : ternyata negara ini masih jauh dari maju

Hmm. Udah lama ga nulis blog. Boleh lah dimulai lagi, kali ini pakai bahasa ibu saja.

Lottery of birth  apa sih itu?

Pertama kali denger isu ini kira-kira setahun atau dua tahun lalu. Lupa pencetusnya siapa (maafkan memori saya yang sekarang sering samar ini) tapi pernah dibahas di suatu kuliah online yang saya ikuti. Jadi, lottery of birth itu adalah semacam "takdir", dimana seseorang itu tidak bisa memilih di keluarga macam apa dia dilahirkan, karena ternyata status sosial, kesempatan untuk bangkit dan maju, serta untuk beranjak dari kemiskinan semua berpangkal pada titik start up kita, meski tidak melulu menentukan (ada saja kisah sukses dari seseorang dengan latar belakang keluarga yang sangat miskin namun akhirnya berhasil maju), tapi secara statistik hal ini sangat susah. Bila kita terlahir di keluarga miskin, dan hidup di lingkungan miskin, untuk menjadi ikut miskin adalah sebuah keniscayaan.

Isu lottery of birth ini marak dibahas di negara maju seperti Inggris karena mereka sangat peduli terhadap inequity atau kesenjangan sosial, dan berharap akan bisa untuk memeratakan jurang antara yang kaya dengan yang miskin dengan cara memberi kesempatan yang sama, sehingga orang-orang yang "sial" dan lahir dari keluarga miskin akan punya potensi yang sama untuk bisa mengangkat dirinya dan keluarganya keluar dari kemiskinan. Omong-omong, isu ini saya baca sebelum Brexit, jadi mungkin sekarang sedikit bergeser penilaian tentang hal ini.

Bagaimana dengan di negara kita? Sepertinya wacana tentang ini belum marak dibicarakan. Atau sengaja tidak pernah disinggung? Malah yang marak sekarang adalah segregasi sosial, dimana sekelompok masyarakat yang sangat kaya malah membuat kota-kota, cluster-cluster hunian tertutup tembok tinggi untuk semakin membuat jurang antara yang kaya dan yang miskin. Yang namanya gaya hidup "kampung" atau "kampung kota" mulai ditinggalkan. Saya sendiri dibesarkan di "kampung kota" di daerah Jakarta Selatan, dimana di "kampung" saya beragam manusia dengan tingkat ekonomi beragam dapat saling ber-ko-eksistensi. Setelah menikah, saya sempat tinggal di hunian vertikal yang memang mengkotakkan manusia dengan tingkat ekonomi yang sama. Nilai-nilai yang ada sangat jauh berbeda.

Yang membuat mata saya terbuka adalah budaya "pembantu" di negeri ini. Keluarga saya yang kelas menengah sangat bergantung pada "pembantu", dan mungkin misfungsi bila tidak ada "pembantu". Mirisnya, memang seperti sudah terbiasa dengan adanya mereka. Tapi yang saya sadari, dan sempat bikin kaget, pembantu yang didatangkan dari kampung yang bahkan tidak jauh dari Jakarta ini, tingkat pendidikannya sangat rendah, hanya lulusan SD (!). Terus terang, saya kaget. Kirain SEMUA ORANG atau paling tidak hampir semua Jakarta dan sekitarnya itu minimal lulusan SMP atau bahkan SMA. Ternyata pikiran saya naif sekali! Pe-Er bangsa ini masih banyak, ternyata wajib belajar 9 tahun yang dulu itu belum berhasil, dan agaknya pemerintahan yang sekarang lebih fokus untul melayani kelas menengah ke atas dengan infrastruktur mewah dibandingkan ngurusin tingkat pendidikan orang miskin. Miris! Dan terus terang saya malu, karena keluarga kami bagaimanapun kan menggunakan jasa mereka.

Kebanyakan anak-anak yang harus bekerja ini seharusnya bisa punya kesempatan yang sama untuk belajar, sekolah, dan berpeluang mendapat penghidupan yang layak. KASIAN, itu yang terpikir dalam benak saya, tapi di bagian lain otak saya berpikir: apa ini memang sunnatullah ? Mereka terpuruk di lingkaran kemiskinan tiada akhir, sementara di negeri ini yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Kelas menengah megap-megap ingin naik ke atas tapi terus terinjak. Apalah daya kelas bawahnya? Makin tergerus jaman.

Jadi apa inti tulisan panjang saya ini? Tak lain hanya untuk mengangkat isu lottery of birth yang mungkin sebagian besar kawan saya bahkan ga sadar kalau mereka sebenarnya sangat beruntung lahir di keluarga berada. Mungkin saat ini hanya bisa menyuarakan ini, karena hidup saya sendiri lumayan amburadul (ini isu lain yang mungkin tidak buat dibahas) tapi yah daripada disimpan, lebih baik diutarakan.

Sempat berpikir, teman-teman saya yang merasa paling pintar, paling hebat, bisa segalanya, bisa jadi lebih dari 90% faktor penentu keberhasilan mereka sekarang adalah karena mereka lahir dari keluarga berada. Sungguh, ga ada yang harus disombongi. Kalian bisa pintar, maju, dan entah apa lagi sekarang, bisa jadi bukan karena kalian hebat, tapi lebih karena nasib. Olehkarena itu, wajib yang namanya bersyukur, dan berhentilah jadi orang sombong dan pongah.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Ikhtiar

Ingin sekedar berbagi cerita tentang perjalanan hidup sampai mendapatkan yang dinanti-nanti.  Alhamdulillah dua tahun slowdown karena pandemi membawa berkah. Setahun setelah menikah, kami dianugerahi seorang putri yang sangat kami sayangi. Perjalanan  mendapatkannya bisa dibilang tidak mudah. Akumulasi semua pengalaman sebelumnya, banyak rintangan yang dihadapi. Namun syukurlah Allah memberikan amanah kepada kami sekeluarga.  Berkah Habatussaudah Ternyata hadits Rasulullah tentang keutamaan Habatussaudah atau jinten hitam sebagai obat segala penyakit* benar adanya. Jinten hitam ini adalah faktor pembeda utama, selain suami yang sangat sabar dan waktu di rumah yang lebih panjang karena work from home (wfh) . Setelah menikah dengan suami yang penyabar ini, saya disarankan oleh adik saya untuk berikhtiar dengan cara mengkonsumsi 7 (tujuh) butir Habatussaudah/jinten hitam yang sudah disangrai dan madu setiap hari. Cukup tujuh butir, tidak perlu banyak-banyak karena Habatuss...

Mama Drama (yang tercinta)

Selain MLM dan rokok, ada satu hal lagi yang saya bener-bener ga tahan: Mama Drama.  ------- (Warning: postingan ini bikin emak-emak hardchore kejang-kejang. Use it wisely. 😂  Move along at your own risk. ) ------- Semua ibu-ibu baru ini (seumuran sama saya) kelakuannya sangat tipikal di media sosial macam facebook dan path. Terlalu banyak membagi informasi mengenai anak-anaknya dan sangat sangat sangat emosional jika diingatkan ( mama bear will bite you to death! ). Saya sampai pada satu titik dimana saya sangat yakin bahwa mungkin dulu saya tidak benar-benar berteman dengan mereka, karena jelas sekali saya di luar lingkaran mereka (dari segi bahasa, kehidupan, dan persepsi) (Semua ilustrasi saya hapus karena yang punya drama emosi..) Panggilan tipikal: si anu mamanya anu Yang bikin saya paling sadar kalo saya bukan temannya lagi itu adalah saat saya lihat statusnya dan komen-komen di statusnya, semua orang adalah mama/papa/ayah/bunda/kakek/nenek dari nama si...

The Revelation of the Infamous Hags

Well, well, well. What d'you know? At first you were their friends, but right there at the moment they don't need you anymore or despise you with hatred and envy you with all their might--you just turn into the object of their cruelty! Disguise in their keen elegance, never did they actually revealed their truer form infront of promising 'customers'. They even can agitate people into hating each other--and some people really take it personally and even put grudge to people they don't even know! Sick isn't it? Well, they DO dressed nice, covering all that evil devilish thoughts behind their artificial skins. But once you see them, they're nothing but ol' malicious hags, lurking around for prey. Their smiles aren't genuine. Their acts always for the sake of themselves and themselves only--whether to bossing around, getting ETERNAL youth (?), or just bullying others that potentially harmful for their mighty being. I wonder why some people still can'...